Timpang Persebaran Sekolah di Jakarta (1)

02-01-2023

Shafa, seorang pelajar di DKI Jakarta, kini bersekolah di madrasah setelah dua tahun berturut-turut gagal masuk SMA Negeri imbas sistem zonasi. Ia kecewa betul karena nilai rapornya sebetulnya sama sekali tak jelek, bahkan terhitung bagus.

“Selama ini [belajar untuk mengumpulkan] nilai, ternyata nggak terpakai,” ucapnya kecut.

Shafa tinggal di Sunter Agung, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dari SMA Negeri terdekat, rumahnya masuk zona 3 dalam zonasi. Berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 21 Tahun 2022 pasal 12, terdapat aturan tiga zona prioritas bagi penerimaan siswa baru.

Zona 1 diperuntukkan bagi pelajar yang berdomisili di RT yang sama dengan lokasi sekolah, dan berbatasan langsung atau bersinggungan dengan RT tempat sekolah berada.

Zona 2 diperuntukkan bagi pelajar yang berdomisili di RT sekitar RT lokasi sekolah berdasarkan pemetaan. Terakhir, zona 3 diperuntukkan bagi pelajar yang berdomisili di kelurahan yang sama atau berdekatan dengan lokasi sekolah.

Masalahnya, rumah Shafa di Kelurahan Sunter Agung tak masuk zona prioritas 1 dan 2 dari SMA Negeri terdekat, yakni SMAN 80, SMAN 15, dan SMAN 13. Padahal jarak SMAN 80 dari rumah Shafa tak sampai satu kilometer. Masih satu kelurahan.

SMAN 80 Jakarta. Foto: Dok. SMA Negeri 80

SMAN 80 Jakarta.

Foto: Dok. SMA Negeri 80

Dalam sistem zonasi tersebut, Shafa pun terpental dari seluruh SMA Negeri yang terhitung dekat dari tempat tinggalnya. SMA-SMA Negeri tersebut memprioritaskan pelajar yang berdomisili di Zona 1 dan 2 dari sekolah mereka.

Sementara upaya Shafa masuk ke sekolah-sekolah negeri tersebut melalui jalur prestasi juga gagal karena nilainya yang terpaut tipis.

Kini, Shafa pun bersekolah di Madrasah Aliyah di Cempaka Putih, Jakarta Pusat, yang berjarak jauh dari rumahnya; lebih jauh dari sekolah-sekolah negeri yang tak berhasil ia masuki. Setiap hari, ia menghabiskan waktu satu jam untuk naik angkutan umum ke sekolahnya tersebut.

Berangkat ke sekolah dengan angkot. Ilustrasi: Ruud Suhendar/Shutterstock

Berangkat ke sekolah dengan angkot.

Ilustrasi: Ruud Suhendar/Shutterstock

Kisah Shafa gagal masuk sekolah negeri adalah gambaran kecil tentang timpangnya persebaran sekolah di Jakarta; terlebih dengan sistem zonasi yang saat ini diberlakukan. Padahal sistem zonasi bertujuan salah satunya untuk mendekatkan sekolah dengan rumah.

Sebaran timpang sekolah-sekolah di Jakarta tercermin dalam hasil penelitian “The spatial justice of school distribution in Jakarta” (Keadilan spasial distribusi sekolah di Jakarta) yang dipubilkasikan pada 3 November 2022 di jurnal ilmiah Heliyon.

Secara spesifik, riset yang dilakukan peneliti-peneliti Universitas Indonesia lintas disiplin ini (Ahmad Aki Muhaimin, Ahmad Gamal, Michelle A.S. Setianto, dan Widya Laksmi Larasatia) mempelajari tentang aksesibilitas siswa Jakarta ke sekolah-sekolah di lingkungan mereka.

Dari penelitian itu, terlihat bahwa belum semua pelajar di Jakarta mendapatkan kemudahan secara fisik untuk mengakses sekolah.

Ahmad Gamal, peneliti tata ruang dan wilayah UI sekaligus Penasihat Smart City Center UI. Foto: Muthia Firdaus/kumparan

Ahmad Gamal, peneliti tata ruang dan wilayah UI sekaligus Penasihat Smart City Center UI.

Foto: Muthia Firdaus/kumparan

Ahmad Gamal, peneliti tata ruang dan wilayah UI sekaligus Penasihat Smart City Center UI yang ikut andil dalam riset distribusi sekolah di Jakarta tersebut, menyatakan bahwa tujuan penerapan sistem zonasi sebetulnya sangat baik, yakni untuk pemerataan akses ke layanan pendidikan dan pemerataan kualitas pendidikan.

“Saya orang perencanaan wilayah. Saya termasuk yang pro terhadap zonasi karena menurut saya ini menyelesaikan banyak masalah,” kata Gamal kepada kumparan di Gedung Integrity Laboratory & Research Centre UI, Depok, Senin (26/12).

Namun, keberhasilan penerapan sistem zonasi tak lepas dari pemerataan ketersediaan sekolah. Di sinilah terdapat problem. Gamal kemudian memaparkan bagaimana penelitian ia dan rekan-rekannya berlangsung.

Gamal dan timnya mula-mula mengambil data persebaran sekolah negeri dan swasta di Jakarta melalui Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Mereka juga memetakan area kumuh dan non-kumuh berdasarkan data di platform Kotaku milik Kementerian PUPR. Selain itu, tim mengambil data penunjang dari Badan Pusat Statistik (BPS). Adapun pengumpulan data dilakukan pada periode 2020–2021.

“Yang mau kami lihat adalah aksesibilitas fisik—seberapa mudah [murid menjangkau sekolah],” kata Gamal.

Sebaran sekolah di Jakarta. Foto: Dok. Istimewa

Sebaran sekolah di Jakarta.

Foto: Dok. Istimewa

Dari data-data yang terkumpul tersebut, Gamal bersama Ahmad Aki Muhaimin, Michelle Setianto, dan Widya Laksmi membuat 3.899 titik sekolah di atas peta DKI Jakarta. Mereka kemudian mengukur jarak antara sekolah-sekolah itu ke permukiman penduduk sekitar.

Riset tersebut awalnya menggunakan analisis spasial dengan mengukur wilayah cakupan sekolah dengan jaringan jalan menuju permukiman di sekelilingnya. Idealnya, jarak antara sekolah dan tempat tinggal adalah 400 meter untuk SD, 800 meter untuk SMP, dan 1.200 meter untuk SMA.

“Anak SD tentu langkahnya lebih pendek dibanding anak SMP dan SMA. Jadi kalau berjalan kaki 5 menit itu radiusnya 400 meter,” jelas Gamal.

Namun, mengukur radius sekolah ke rumah secara sederhana dengan menarik garis lurus tidaklah mencerminkan kenyataan di lapangan. Sebab akses jalan dari rumah ke sekolah tidak berupa garis lurus.

“Kalau di situ ada jalan tol, kan otomatis murid enggak bisa nyeberang,” kata Gamal.

Oleh sebab itu, ia dan timnya lalu menggunakan metode yang lebih rumit, yakni analisis jaringan jalan, sebab basis penelitian mereka adalah jarak jalan kaki murid ke sekolah.

Ilustrasi: Ruud Suhendar/Shutterstock

Ilustrasi: Ruud Suhendar/Shutterstock

“Kami mereplikasi pengalaman siswa kalau mau berjalan ke sekolah. Jadi service area-nya bukan lagi radius, tapi gambaran peta…” ujar Gamal.

Ia menjelaskan, aksesibilitas sekolah berdasarkan kemudahan siswa berjalan kaki dari rumah menjadi basis penelitian karena komponen riset tersebut adalah kesetaraan, yakni parameter yang dapat digunakan untuk semua pelajar.

Gamal menerangkan lebih lanjut. “Jadi, di Jakarta anak sekolah memang umum diantar jemput [dengan kendaraan], tapi ada 10–15% kawasan padat kumuh, berisi lebih dari 200 orang per kilometer persegi, yang jalannya kurang bagus, dan tidak semua keluarga di situ punya motor.”

Oleh sebab itu, penelitian tidak mengukur jarak tempuh sekolah ke rumah dengan kendaraan, melainkan dengan berjalan kaki. Gamal menekankan, “Inilah ukuran yang setara buat semua siswa.”

Ironisnya, tim peneliti menemukan bahwa wilayah-wilayah yang akses jalannya buruk justru tidak tercakup layanan sekolah.

“Di kawasan yang penduduknya lebih mampu secara sosial ekonomi dan bisa antar anak ke sekolah [dengan kendaraan], lokasi sekolahnya justru lebih dekat. Sementara di kawasan yang penduduknya kurang mampu, letak sekolahnya malah tidak dekat, sehingga kalau tak ada motor dan tak bisa ongkosi anak naik angkot, lebih sulit buat mereka untuk mengirim anak ke sekolah,” papar Gamal.

Peta Jakarta. Foto: Dok. Istimewa

Peta Jakarta.

Foto: Dok. Istimewa

Tim peneliti juga memetakan tiap kelurahan dan kotamadya di DKI Jakarta untuk melihat seberapa luas wilayah yang tercakup sekolah-sekolah itu. Ini untuk melihat area mana saja yang masih jauh dari jangkauan siswa.

“Ternyata kami temukan bahwa kalau mengandalkan road network, tidak semua area di Jakarta terfasilitasi dengan baik. Tidak semua siswa bisa berjalan dengan mudah sesuai umur dari rumah ke sekolah,” ucap Gamal.

Jumlah sekolah di Jakarta—baik negeri maupun swasta—adalah 2.350 SD yang menampung 812.256 murid, 1.061 SMP yang menampung 368.357 murid, dan 488 SMA yang menampung 174.127 murid.

Tabel aksesibilitas siswa dari rumah ke sekolah. Dok: Penelitian “The Spatial Justice of School Distribution in Jakarta”

Tabel aksesibilitas siswa dari rumah ke sekolah.

Dok: Penelitian “The Spatial Justice of School Distribution in Jakarta”

Akses sekolah paling minim, seperti telah disinggung di atas, berada di permukiman kumuh yang padat penduduk. Terdapat 105,92 km² (16,4%) area kumuh di Jakarta, dengan rincian 34,03 km² di Jakarta Utara, 22,91 km² di Jakarta Barat, 21,58 km² di Jakarta Timur, 19,25 km² di Jakarta Selatan, dan 8,15 km² di Jakarta Pusat.

Dari analisis jaringan jalan, aksesibilitas sekolah di area kumuh di Jakarta Utara misalnya hanya mencakup 53,42% untuk SD, 27,68% untuk SMP, dan 32% untuk SMA.

“Jadi ada yang perlu dibereskan dari aspek aksesibilitas—bagaimana jaringan jalan diperbaiki, bagaimana jalur pedestrian lebih baik supaya siswa bisa dengan mudah jalan ke sekolah,” kata Gamal.

Tabel kawasan kumuh (informal) dan tidak kumuh (formal). Dok: Dok: Penelitian “The Spatial Justice of School Distribution in Jakarta”

Tabel kawasan kumuh (informal) dan tidak kumuh (formal).

Dok: Penelitian “The Spatial Justice of School Distribution in Jakarta”

Sekolah yang paling aksesibel bagi pelajar berada di Jakarta Pusat. Akses jalan di kawasan kumuh di Jakarta Pusat pun masih lebih baik ketimbang di empat kodya lainnya—88,32% untuk SD, 65,86% untuk SMP, dan 94,91% untuk SMA. Padahal, Jakarta Pusat memiliki luas wilayah terkecil di ibu kota dibanding empat kodya lain di ibu kota.

“Jadi ketimpangannya cukup tinggi [antara wilayah pusat dan pinggiran],” ujar Gamal.

Oleh sebab itu, ia menekankan, “Sebaran sekolah harus benar-benar dipikirkan kalau mau gunakan sistem zonasi.”

Ilustrasi: kumparan

Ilustrasi: kumparan

Tingkatkan Aksesibilitas, Benahi Fasilitas

Ketimpangan distribusi sekolah sudah tentu bukan cuma terjadi di Jakarta. Menurut Gamal, kondisi di daerah-daerah lain bisa jadi lebih buruk, sebab Jakarta—yang notabene ibu kota negara—memiliki kualitas layanan sekolah yang standarnya relatif baik.

“Penelitian ini mewakili kota-kota besar di indonesia. Jadi jangan dikecilkan ini cuma masalah Jakarta. Kalau lihat Semarang, Surabaya, Medan, mungkin masalahnya serupa,” kata Gani.

Ketimpangan persebaran sekolah bukanlah perkara sepele. Di Jakarta dan kota-kota lain, lazim ditemukan siswa SMP dan SMA membawa kendaraan bermotor ke sekolah untuk memangkas jarak tempuh. Padahal, mereka tidak memiliki SIM karena belum memenuhi syarat usia. Alhasil, hal ini berkontribusi pada tingkat kecelakaan yang melibatkan pelajar.

“Sering kita lihat, anak SMP bahkan SD minta dibelikan motor sama orang tuanya untuk [dibawa] sekolah, sehingga di kawasan itu banyak kecelakaan,” kata Gamal.

Itu sebabnya aksesibilitas layanan pendidikan perlu ditingkatkan, misalnya dengan membuka layanan bus sekolah gratis.

Bus sekolah. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan

Bus sekolah.

Foto: Iqbal Firdaus/kumparan

Secara umum, penelitian Gamal dan rekan-rekannya menelurkan empat rekomendasi untuk pemda: 1) mengevaluasi kembali aspek peraturan zonasi; 2) menyediakan layanan antar jemput gratis; 3) memperbaiki infrastruktur yang menjadi akses ke sekolah, khususnya jalur pejalan kaki; 4) membangun sekolah di kawasan yang tak aksesibel.

Wasekjen Pengurus Besar PGRI Dudung Abdul Qodir secara terpisah menyarankan agar pemerataan kualitas sekolah juga perlu digenjot dalam sistem zonasi, sebab orang tua punya hak untuk memilih sekolah berkualitas bagi anak mereka.

Pendapat senada dilontarkan Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Ubaid Matraji. Menurutnya, tujuan zonasi saat ini belum tercapai karena masih banyak orang tua yang memilih menyekolahkan anak mereka ke lokasi yang lebih jauh.

“Ketika ditanya kenapa tidak memilih sekolah yang dekat rumah, mereka menjawab karena sekolah yang dekat rumah tidak berkualitas. Jadi mereka memilih sekolah yang berkualitas meskipun jauh dari rumah,” tutur Ubaid.

Ia juga sepakat dengan Gamal bahwa sekolah idealnya dapat dijangkau dengan berjalan kaki. Hal itu pun sesuai dengan prinsip sistem zonasi.

“Menjadi penting bagaimana political will dari pemerintah mampu memeratakan kualitas sekolah, sehingga di mana pun lokasi sekolah itu, kualitasnya sama,” ujar Ubaid.

Agus Ramdani, Sekretaris Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Foto: Dok. Istimewa

Agus Ramdani, Sekretaris Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta.

Foto: Dok. Istimewa

Sekretaris Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Agus Ramdani mengatakan, selama ini kebijakan zonasi di ibu kota telah memerhatikan aksesibilitas siswa ke sekolah.

Dengan menggunakan indikator berbasis kewilayahan (RT, RW, dan kelurahan), zonasi telah mengakomodir radius jangkauan sekolah dengan berjalan kaki. Sebab, jika seorang pelajar berada di Zona 1 atau satu RT dengan lokasi sekolah, maka ia dapat bersekolah di situ. Artinya, sekolah jadi mudah diakses oleh pelajar.

Namun, Agus mengakui bahwa distribusi sekolah di Jakarta berbeda-beda. Di sisi lain, Pemprov DKI Jakarta telah menyediakan antar jemput gratis bagi para pelajar.

“Artinya, di DKI Jakarta, jarak [sekolah ke rumah] bukan masalah,” tutup Agus.

 

Sumber: Kumparan

 

More Headlines