Penulis: Pradipta Pandu (KOMPAS)
30 Januari 2023 06:58 WIB
Kebutuhan lahan permukiman semakin meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk. Hal ini juga berimbas terhadap meningkatnya jumlah bangunan di sejumlah wilayah untuk beragam kebutuhan, mulai dari tempat tinggal, peribadatan, perkantoran atau pelayanan publik, sarana pendidikan dan kesehatan, hingga komersial.
Namun kecenderungannya, hal ini membuat ruang perkotaan semakin padat, berantakan, dan tidak estetik. Hal ini karena banyak bangunan yang melanggar ketentuan atau regulasi terkait izin mendirikan bangunan (IMB).
Bangunan itu juga kerap didirikan di kawasan yang tidak sesuai peruntukan dalam dokumen tata ruang wilayah. Ketidaksesuaian ini juga termasuk mencakup koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien lantai bangunan (KLB), dan koefisien dasar hijau (KDB).
Peneliti Smart City Universitas Indonesia (SCUI) sekaligus pengajar di Departemen Arsitektur dan Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota UI, Ahmad Gamal, mengemukakan, kepadatan bangunan akan memunculkan beragam permasalahan di perkotaan. Bahkan, permasalahan ini dapat memicu kehancuran ekologis dan infrastruktur.
Dukungan sistem SLSS ini juga bisa memeriksa implikasi bangunan tersebut terhadap aspek lingkungan maupun ekonomi, termasuk melihat potensi penerimaan pajak daerah.
Permasalahan bangunan yang terlalu padat dan tidak tertata akan membuat kota tidak memiliki resapan air. Di sisi lain, masifnya penggunaan air tanah dan ketiadaan ruang terbuka hijau (RTH) kian meningkatkan ancaman likuefaksi atau pelulukan tanah sehingga turut berimbas terhadap kerusakan bangunan yang didirikan di atas tanah tersebut.
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
Alat berat dikerahkan untuk membersihkan puing-puing reruntuhan turap di sempadan Kali Jantung, Kelurahan Sukamaju, Kecamatan Cilodong, Depok, pertengahan Februari 2020.
”Kita juga tidak memiliki aspek pemerintahan yang cukup bagus untuk mengatasi persoalan terkait proses penerbitan izin dan penegakan hukum atas pelanggaran izin ini. Kemampuan pemerintah untuk mengidentifikasi apakah bangunan yang didirikan tersebut sesuai dengan peruntukan juga tidak efektif,” ujarnya, Kamis (26/1/2023).
Kondisi ini mendasari Gamal dan peneliti lain dari SCUI serta mitra mengembangkan Smart Land Surveillance System (SLSS) sejak 2016. SLSS merupakan sistem perkotaan yang berbasis kumpulan data terstruktur (big data) dan kecerdasan buatan untuk identifikasi maupun analisis kepatuhan bangunan di suatu wilayah.
SLSS dikembangkan oleh sejumlah pihak yang terdiri dari tim geografi yang berfokus untuk mengelola data spasial serta mengembangkan sistem informasi geospasial berbasis web dan desktop. Pengembangan SLSS juga melibatkan tim ilmu komunikasi untuk mengembangkan prototipe sistem berbasis kecerdasan buatan atau artifisial.
Gamal menjelaskan, dasar pengembangan inovasi ini ialah agar setiap daerah memiliki sistem untuk mendeteksi berbagai pelanggaran bangunan secara otomatis. Selama ini, deteksi pelanggaran bangunan masih secara manual, yakni melalui survei atau observasi langsung. Deteksi secara manual ini tidak efektif dan efisien karena membutuhkan sumber daya manusia dan pendanaan yang sangat tinggi.
Melalui perkembangan teknologi, identifikasi ketidaksesuaian ratusan bangunan bisa dilakukan secara otomatis dengan waktu yang lebih singkat. Dukungan sistem SLSS ini juga bisa memeriksa implikasi bangunan tersebut terhadap aspek lingkungan ataupun ekonomi, termasuk melihat potensi penerimaan pajak daerah.
”Proses pengembangan sistem ini sangat panjang dengan berbagai dukungan pendanaan dan prototipenya dibangun dengan pelan-pelan. Sistem ini baru diimplementasikan secara terbatas pada tahun 2020 dengan kerja sama juga dari Pemerintah Kota (Pemkot) Depok untuk memeriksa data PBB (Pajak Bumi dan Bangunan),” kata Gamal.
Teknologi LiDAR
Sistem SLSS menggunakan dukungan teknologi penginderaan jarak jauh Light Detection and Ranging (LiDAR) yang diintegrasikan dengan data perizinan eksisting milik pemerintah daerah. Teknologi LiDAR bekerja dengan menembakkan laser di darat atau udara untuk mendapat data terkait bangunan dan tanah di permukaan Bumi.
Teknologi LiDAR mampu memberikan informasi pencitraan tiga dimensi untuk membuat peta digital yang akurat dalam skala 1:10.000. Apabila dibandingkan dengan peta daring milik pemerintah, hasil dari LiDAR dalam skala ini memiliki tingkat akurasi yang jauh lebih tinggi.
Data dari LiDAR diproses dengan teknologi algoritma kecerdasan artifisial sehingga pengguna bisa mendapat berbagai informasi terkait bangunan tersebut. Informasi bangunan ini di antaranya terkait volume, lantai, KDB, dan KLB. Informasi bangunan di wilayah itu kemudian dianalisis dengan data eksisting yang dilaporkan ke pemerintah.
Sistem SLSS juga mengintegrasikan data dari berbagai platform milik sejumlah instansi. SLSS mengacu pada data yang dimiliki oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), terutama peta dasar. Selain itu, SLSS juga terintegrasi dengan informasi dari Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (Sismiop) milik pemerintah daerah serta data kepemilikan lahan milik Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Peneliti dan teknisi mengawasi tampilan data penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) di Jakarta, akhir Juli 2013.
Sistem ini sudah diimplementasikan secara terbatas di Kelurahan Pondok Cina, Depok, untuk penghitungan potensi peningkatan pembayaran pajak. Potensi kenaikan pajak ini dihitung berdasarkan selisih nilai jual obyek pajak (NJOP) dikali dengan total luas di setiap jenis kepadatan bangunan.
Dari analisis Pemkot Depok, pada 2019 seharusnya bisa menerima Rp 77 miliar tambahan dari pendapatan PBB setiap tahun apabila pelanggaran pajak bangunan bisa diidentifikasi. Penerimaan ini sangat signifikan karena pada 2019 penerimaan PBB Pemkot Depok sebesar Rp 300 miliar.
”Berdasarkan perbandingan informasi dari SLSS dengan data dari Pemkot Depok, pelanggaran bangunan terdeteksi antara 7-80 persen. Kebetulan data yang kami punya baru di Depok, tetapi pelanggaran di kota lain kemungkinan juga sama,” ucap Gamal.
Empat manfaat
Dengan potensi tersebut, Gamal menyebut, penggunaan sistem SLSS memiliki empat manfaat secara keseluruhan. Dua manfaat utama bagi pengguna atau pemerintah daerah adalah dapat menertibkan pelanggaran bangunan dan mendapat penghasilan tambahan atau penerimaan negara dari pajak yang lebih besar.
Dua manfaat lainnya adalah terkait aspek lingkungan dan sosial masyarakat. Dari aspek lingkungan sistem ini dapat memitigasi bencana akibat pendirian bangunan yang tidak sesuai peruntukan.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Kawasan padat penduduk di Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara, Kamis (10/11/2022).
Pada aspek sosial masyarakat, deteksi pelanggaran pajak dengan sistem ini akan mengubah perilaku seseorang atau pihak tertentu untuk lebih taat dalam mendirikan bangunan. Pada akhirnya, perubahan perilaku masyarakat yang lebih tertib serta menaati peraturan akan menunjukkan tata kelola pemerintahan yang efektif dan efisien.
Ketua Departemen Ilmu Administrasi UI Inayati dalam keterangannya menyatakan, pemerintah daerah dan pusat perlu membangun komunikasi serta koordinasi dalam perumusan regulasi persetujuan bangunan gedung (PBG). Sesuai aturan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, saat ini istilah maupun ketentuan IMB diganti dengan PBG.
Pemungutan retribusi PBG juga memerlukan sistem yang terintegrasi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan terkait pendirian bangunan selama ini. Permasalahan tersebut meliputi penerbitan nomor IMB berganda, ekspor data pelaporan yang kurang efisien, dan kesulitan melakukan pembaruan data fungsi.
Sumber: KOMPAS I Editor: ICHWAN SUSANTO